Thursday, October 18, 2012

Sejarah Kota Padang “Kota Metropolis Terbesar Di Nusantara Pada Abad 18″

Sejarah berdirinya Kota Padang
Terdapat 2 buah versi mengenai sejarah berdirinya kota Padang, yaitu: versi Tambo dan versi Hofman seorang opperkoopman di Padang pada tahun 1710 dan juga pengarang mengenai adat dan sejarah Minangkabau (terutama adat matrilineal). Opperkoopman sebutan pada wakil Belanda untuk suatu daerah yang belum ditaklukkan Belanda. Kota Padang belum ditaklukkan saat itu sedangkan untuk daerah jajahan Belanda seperti Ambon, Banda, Ternate dan Jawa penguasanya dinamakan Gubernur.
Kota Padang menurut Hofman, dinamakan Padang karena dulu merupakan lapangan besar dan luas yang dikelilingi oleh pegunungan tinggi.
Pada awalnya tempat bermukim para penangkap ikan, pedagang dan petani garam yang dikepalai oleh seorang makhudun. Orang kedua yang menjadi kepala adalah dari golongan agama dari Passai yang bergelar Sangguno Dirajo.
Suatu saat terjadi peperangan antara orang padang dengan orang pegunungan dari XIII-Koto karena terbunuhnya Serpajaya oleh anak buah makhudun yang bernama Campang Cina. Dalam serbuannya yang pertama orang-orang dari XIII-Koto dapat dikalahkan dengan korban sebanyak 30 orang.
Karena takut akan serangan besar berikutnya, orang Padang mengirim utusan untuk berdamai yang bernama Datuk Bandaro Pagagar bersama wakil rakyat kota Padang. Ganti rugi yang diminta orang XIII-Koto adalah emas. Orang Padang keberatan dengan ganti rugi ini karena terlalu mahal dan mereka kebanyakan adalah nelayan.
Oleh karena itu ditawarkan separuh kota Padang dan bersumpah setia untuk tunduk kepada XIII-Koto, sejak saat itu orang XIII-Koto memiliki hak yang sama dengan orang Padang dan mendapat 4 dari 8 kursi penghulu di kota Padang.
Menurut versi Tambo, jauh sebelum orang pegunungan mendiami kota Padang sekarang, daerah itu merupakan hutan lebat yang masih didiami oleh manusia liar (urang rupit dan urang tirau).
Orang pertama yang turun ke Padang adalah dari Kubuang Tigo Baleh (Solok) yang dipimpin oleh Maharajo Besar suku Caniago Mandaliko dan memilih tinggal di Binuang dan kemudian menyebar diantara Muaro sampai Ikua Anduriang (Pauh IX).
Kelompok kedua yang datang adalah orang dari Siamek Baleh (antara Singkarak dan Solok) dan disusul dengan orang dari Kurai Banuampu (Agam). Mereka menetap dibagian timur daerah Maharajo Besar.
Diantara pemimpin yang baru datang ini adalah Datuk Paduko Amat dari suku Caniago Simagek, Datuk Saripado Marajo dari suku Caniago Mandaliko, Datuk Sangguno Dirajo dari suku Koto beserta saudaranya Datuk Patih Karsani. Konon Datuk Patih Karsani ditempat yang baru banyak mendapat benda berharga seperti porselen, pisau, meriam kecil dan sebuah pedang (padang). Maka menurut yang mempunyai cerita dinamakanlah kota itu Kota Padang.

Dibalik Hari Jadi Kota Padang
Bangsa Asing di Kota Padang
Koran Pertama Kota Padang
Serangan Bajak Laut ke Padang
Komoditas Ekspor Kota Padang

Tanggal 7 Agustus 1669 secara resmi dianggap sebagai hari jadi kota Padang yang merupakan ibukota provinsi Sumatera Barat. Tahun 1669 dipakai sebagai hari jadi kota Padang karena pada tahun itu terjadi penyerangan besar-besar dari rakyat kota Pauh pada Belanda. Serangan kedua yang dilancarkan pada tahun 1670.
Tanggal 7 Agustus 1669, saat serangan pertama dijadikan sebagai hari jadi kota Padang karena tiga hal yaitu: Loji VOC dianggap simbol kekuasaan asing di Minangkabau, serangan itu semata-mata tidak hanya dilakukan oleh rakyat kota Pauh tetapi juga dibantu oleh sekelompok rakyat dalam kota Padang dan serangan tahun 1669 itu dilakukan setelah VOC resmi mengakui kedaulatan atas kota-kota yang diduduki Belanda sepanjang pantai Minangkabau dipegang oleh Yang Dipertuan di Pagaruyung sedangkan wakil VOC di kota Padang bertindak hanya sebagai pemerintah saja.
Selama serangan tanggal 7 Agustus malam tersebut, Belanda mengalami kerugian sebesar 20.000 gulden dan disebut seorang bernama Berbangso Rajo dari Minangkabau sebagai otak dari serangan tersebut.
Pada tahun 1906, Padang resmi ditetapkan oleh Belanda sebagai pemerintahan (gemeente) yang diketuai Residen. Setelah Proklamasi 1945, daerah ini sah berstatus kotapraja, kemudian meningkat menjadi Daerah Tingkat II (1965) dan oleh Pemerintah Indonesia Padang dijadikan ibukota provinsi Sumatera Barat berdasarkan UU. No. 5 tahun 1974.

Bangsa Belanda
Belanda telah datang ke pesisir pantai Sumatera Barat sejak abad 15 untuk mencari sumber emas dan lada karena Belanda enggan membeli dari Kerajaan Aceh maupun Kerajaan Johor yang menguasai perdagangan di selat Malaka.
Belanda umumnya singgah di Indrapura, Tiku, Pariaman dan Pasaman namun banyak kali gagal untuk membeli lada ataupun emas karena orang-orang Minang lebih senang menjualnya ke Kerajaan Aceh atau kepada pedagang Inggris.
Pada tahun 1660, Belanda pernah berkeinginan untuk memindahkan kantor perwakilan mereka dari Aceh ke Kota Padang dengan alasan lokasi dan udara yang lebih baik namun keinginan ini ditolak oleh penguasa kota Padang hingga akhirnya mereka berkantor di Salido.
Perjanjian Painan pada tahun 1663 yang diprakarsai oleh Groenewegen yang membuka pintu bagi Belanda untuk mendirikan loji di kota Padang, selain kantor perwakilan mereka di Tiku dan Pariaman. Dengan alasan keamaman kantor perwakilan di kota Padang dipindahkan ke pulau Cingkuk hingga pada tahun 1667 dipindahkan lagi ke kota Padang. Bangunan itu terbakar pada tahun 1669 dan dibangun kembali setahun kemudian.
Sejak perjanjian Painan, perdagangan lada di Kota Padang berangsur-angsur dikuasai Belanda apalagi sejak tahun 1666 dimana kekuasaan kerajaan Aceh di kota Padang yang sudah berlangsung sejak abad ke 16 secara resmi berakhir di Sumatera Barat karena diserbu Belanda selama 3 bulan maka Belanda praktis memonopoli semua perdagangan lada dan emas yang melalui kota Padang.
Pada bulan Agustus 1666, Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Verspreet yang terdiri dari 300 pasukan Belanda, 130 orang Bugis pimpinan Aru Palaka dan 100 orang Ambon dibawah Kapten Yonker berangkat dari Batavia ke kota Padang untuk memulai peperangan dengan Kerajaan Aceh. Perang yang dimulai tanggal 14 September 1666 dan berakhir tanggal 3 November 1666 berhasil mengusir orang-orang Aceh dengan bantuan sekitar 800 – 1000 orang kota Padang dibawah Orang Kayo Kecil atau Kaciak dari suku Massiang.
Bangsa Inggris
Tahun 1683, kapal Inggris (bukan dari East India Company) singgah ke kota Padang untuk membeli lada tetapi gagal. Pada bulan Februari 1686, kapal Inggris Royal James dengan 100 tentara datang ke Kota Padang . Namun sayang hampir semuanya meninggal karena penyakit.
Pada tahun 1793, Inggris mengambil alih kota Padang membuat benteng pertahanan di kota Padang. Inggris mengembalikan kota Padang ke Belanda pada tahun 1819 sebagai akibat dari Perang Napoleon.
Raffles datang ke kota Padang pada tahun 1818 dengan cita-citanya untuk membangun kembali Kerajaan Minangkabau.
Pada tahun 1867, lima buah kapal Inggris datang ke kota Padang untuk membeli lada namun penduduk lokal tidak mau menjual lada karena terikat perjanjian dengan Belanda.
Bangsa Perancis
Jauh sebelum Le Meme, Bajak Laut Perancis datang ke Padang, seorang laksamana Perancis bernama Montmorency pernah datang ke Sumatera Barat dan kemudian juga seorang laksamana d’Estaing. Mereka datang untuk menduduki bekas jajahan Inggris di pantai barat Sumatera seperti Tapanuli, Natal, Bengkulu, Padang dan kota kota kecil diselatan kota Padang. Hal ini terjadi sebagai akibat perang antara Inggris dan Perancis di anak benua India.

Sumatera Courant merupakan surat kabar pertama yang terbit di kota Padang, surat kabar ini berbahasa Belanda dan terbit seminggu sekali dengan kebanyakan berita berisi peristiwa lokal dan cerita. Tidak diketahui secara persis tahun penerbitan edisi pertamanya tetapi perusahaannya berdiri tahun 1859. Arsip tertua dari Sumatera Courant yang tersimpan di Perpustakaan Museum Nasional Jakarta bertahun 1863.
Tahun 1864 terbit sebuah surat kabar di kota Padang yang berbahasa Melayu dengan nama Bintang Timur yang hanya seumur jagung. Pemiliknya adalah seorang Belanda bernama Van Zadellhoft, pemilik toko buku di kota Padang. Bintang Timur memiliki Oplah 400 eksemplar dan terbit setiap hari Rabu jam 14.00 dan harus diambil sendiri oleh pelanggan kepercetakannya.
Pada tahun 1871 terbit sebuah surat kabar berbahasa Melayu kedua di kota Padang yang juga seumur jagung. Antara tahun 1870-an dan 1880-an surat kabar yang terbit mulai memasukan syair, pantun, cerita pendek, pelajaran bahasa Melayu dan semacam kamus bahasa kecil sebagai strategi marketing mereka. Strategi yang berhasil ini kemudian banyak ditiru daerah lain disekitar Sumatera Barat.
Pada tahun 1901, Datuk Sutan Marajo menerbitkan dan memimpin sendiri sebuah surat kabar yang diberinya nama Warta Berita yang merupakan surat kabar pertama di Indonesia.
Bacaan menarik lainnya mengenai Surat Kabar yang terbit di Sumatera Barat ataupun Surat Kabar berbahasa Melayu dan beraksara latin pertama di Indonesia dapat dilihat di artikel : Surat Kabar Pertama di Indonesia

Le Meme lahir di Saint Malo, Bretagne di pantai barat Perancis yang sejak kecil bercita-cita menjadi bajak laut. Perang Napoleon adalah awal karirnya, dengan sebuah kapal perang bermerian 12 dan berawak 80 orang pada bulan Juli 1793 Le Meme berangkat dari Ile de France en Bourbon (sekarang bernama Mauritus) di Samudera Hindia menuju Nusantara.
Pada bulan Agustus, Le Meme merampok kapal Belanda bertujuan Batavia dari kota Padang diselat Sunda, pada hari yang sama dia juga merampok dua buah kapal Cina dan keesokan harinya sebuah kapal Belanda lagi.
Dikemudian hari, Ia memimpin sebuah kapal yang lebih besar dengan persenjataan yang lebih lengkap menuju kota Padang. Pasukan Le Meme mendarat di Air Bangis dan menyerang kota Padang melalui Bukit Padang yang terdapat sebuah benteng pertahanan Belanda yang telah kosong. Sebagian pasukan Le Meme menyerang dengan perahu dari Sungai Arau.
Le Meme menguasai dan menjarah kota Padang selama 16 hari dan merampok semua kekayaan Belanda dan meminta upeti dari penduduk kota Padang sebanyak 25.000 ringgit dari 75.000 ringgit yang diminta semula.
Le Meme meninggal dunia tanggal 30 Maret 1805 dalam perjalanan ke Inggris untuk diadili setelah kalah dalam pertempuran laut di Laut Arab tanggal 7 November 1804.

Kota Padang menjadi terkenal pada akhir abad ke 19 karena merupakan kota pengekspor kopi dari dataran tinggi Minangkabau. Ekspor komoditi terpenting kota Padang selama 50 tahun mulai dari tahun 1850 – 1908 ialah kopi, rotan, lada, beras, pala, kulit pala, tembakau dan kopra. Kopra mulai di ekspor tahun 1883, tembakau dan pala pada tahun 1866 sedangkan beras berhenti di ekspor mulai tahun 1889. Amerika Serikat, Perancis dan Jawa adalah tujuan ekspor kopi dari kota Padang selain Belanda pada waktu itu.
Jalan kereta api juga dibangun untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi dari pedalaman ke kota Padang dan pelabuhan baru yang bernama Emmahaven (Teluk Bayur sekarang) juga di bangun sekitar 7 kilometer disebelah selatan kota Padang untuk memudahkan pengangkutan batubara dari tambang batubara Umbilin.
Kopi mulai dibudidayakan di Sumatera Barat akibat kebijakan tanam paksa yang dijalankan oleh Belanda. Tanam paksa yang dijalankan oleh Belanda melalui Van den Bosch di Sumatera Barat tidaklah seberhasil tanam paksa di Jawa. Hal ini disebabkan Van den Bosch dan orang Belanda pada umumnya gagal melihat perbedaan karakter orang Jawa dan orang Minang.
Rakyat jawa selalu tunduk tanpa syarat pada pemimpinnya berapapun penderitaan dan tekanan yang diberikan, orang Jawa tidak akan memberontak selama yang melakukan tekanan dan penyebab penderitaan itu adalah pemimpin atau pemuka orang Jawa itu sendiri. Orang Minang memiliki budaya demokrasi dimana semua hal harus dihasilkan melalui musyawarah dan mufakat.
Reference:
Rusli Amran, Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, 1981, Cetakan Pertama, Penerbit Sinar Harapan
Rusli Amran, Padang Riwayatmu Dulu, 1988, Cetakan Kedua, Penerbit CV. Yasaguna.
Audrey R Kahin, Encyclopaedia of Asian History: Prepared under auspices of the asia society, Book 3, Padang, page 169, 1988, MacMilan Publishing Company
Susan Rodgers, Prints, Poetics and Politics: A Sumatran’s epic in the colonial Indies and New Order Indonesia, KITLV Press,Royal Netherlands Institutes of South East Asian and Caribbean Studies, Leiden, 2005
N Mac Leod, De Ost Indische Compagnie op Sumatera in de 17e. eeuw, Chapter 4, Page 1281 (IG No. 19, 1903)
E Francis, De Vestiging der Nederlanders ter Wesfkunst van Sumatera, 1856.
Profile Daerah dan Kota, Litbang Kompas, Jilid 2, 2003, Gramedia.

No comments:

Post a Comment